Subhanallah… Inilah Kemuliaan Ibu dalam Kosa Kata Al Qur’an
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
(QS. Luqman : 14)
( Ilustrasi:Foto)
Syahida.com
– Ibu, dialah sumber kasih sayang; mengasuh dan memberi tanpa batas. Dialah
prajurit malam yang selalu berjaga dan terjaga. Menemani ketidakberdayaan kita.
Dia yang selalu mendahulukan anaknya dari dirinya sendiri, mencintai tanpa menuntut
balas.
( Ilustrasi:Foto)
Ibu,
sebuah kata yang jujur nan kuat, diucapkan semua makhluk hidup dalam bahasanya
masing-masing. Dengan kata ‘ibu’ pada makhluk itu mendapatkan kasih sayang,
ketulusan hati, kehangatan, pengorbanan, cinta yang agung, yang dicipta dan
ditumbuhkan Allah dalam diri semua ibu terhadap anak-anaknya. Karena itu, Allah
SWT berwasiat kepada manusia untuk taat kepadanya, seperti juga Rasul-Nya telah
berpesan agar kita senantiasa berbakti kepadanya.
Ada
dua kata yang selalu dipakai Al Qur’an untuk menyebutkan ibu: “Umm” dan
“Walidah”. Kata “umm”, digunakan Al Qur’an untuk menyebutkan sumber yang baik
dan suci untuk hal yang besar dan penting. Maka Makkah Al Mukarramah disebut
“Ummul Qura” karena kota ini adalah tempat turunnya risalah yang diberikan
Allah azza wa Jalla kepada Islam, yang merupakan inti ajaran para rasul dan
semua risalah. Allah berfirman,
وَهَٰذَا
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُّصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَىٰ وَمَنْ حَوْلَهَا ۚ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۖ وَهُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan
ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi;
membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi
peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar
lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu
beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.” (QS.
Al An’am : 92)
Imam
As Suddi mengatakan, disebut Ummul Qura’, kerena Makkah rumah yang pertama kali
dibangun di tempat itu.
Allah
juga menyebutkan kata “umm” untuk sesuatu yang menghimpun ilmu-Nya, yaitu pada
lafaz “Ummul Kitab”. Allah berfirman,
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),
dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar Raad : 39)
Pada
kerangka inilah, Al Qur’an kemudian membedakan antara kata “umm” dan “walidah”,
di mana Allah menyebut “walidah” kepada perempuan yang melahirkan anak, tanpa
melihat karakter dan sifatnya yang baik atau yang buruk. Karena ternyata ada
juga segelintir ibu yang tak punya hati terhadap anaknya. Kata “walidah”
digunakan hanya karena adanya proses melahirkan, baik bagi manusia maupun
makhluk lain, dengan keadaan-keadaan yang menyertainya; hamil dan menyusui,
seperti firman Allah,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah :
233)
Ibu
yang dibahasakan “walidah” inilah tempat menumpahkan segala bakti, pemuliaan,
tanpa membedakan apakah ia baik atau tidak. Allah berfirman,
وَقَضَىٰ
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra : 23)
Bahkan
meskipun si ibu adalah seorang pelaku maksiat dan kafir.
Adapun
“umm”, seperti telah disebutkan di atas, Al Qur’an menggunakannya untuk
menyebutkan sesuatu yang menjadi sumber kemuliaan, merupakan simbol
pengorbanan, penebusan, kesucian, kejernihan, cinta dan kasih sayang. Sumber
yang menjadikan seseorang tumbuh menjadi manusia yang terhormat, menemukan
kemuliaan dan bangga menisbahkan dirinya kepada ibu yang melahirkannya. Mari
kita perhatikan perbedaan itu ketika Isa
alaihissalaam bicara soal kewajiban berbakti dan menghormati ibu, dimana Allah
SWT berfirman,
وَبَرًّا
بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
“dan
berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi
celaka.” (QS. Maryam : 32)
Namun
ketika Al Qur’an mengisahkan tentang Isa as dan tentang karakter dan sifat
ibunya yang mulia, Ia menggunakan kata “umm”. Allah berfirman,
مَّا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ ۖ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ انظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انظُرْ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Al
Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya
biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka
(ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana
mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (QS. Al Maidah : 75)
Pun
ketika Al Qur’an hendak menarik perhatian anak-anak agar memperhatikan ibu yang
telah melahirkannya dengan segala kendala dan kesulitan, Al Qur’an menggunakan
kata “umm”. Karena dari ibu, memancarkan
cahaya kesabaran dan kemuliaan pada hari kiamat, sehingga kita diperintahkan
untuk memuliakannya di dunia dengan pemuliaan yang mutlak dan tanpa batas.
Di
sini kita bisa melihat betapa indahnya bahasa Al Qur’an. Ketika ia berpesan
kepada kita untuk berbakti kepada orang tua, Al Qur’an menggunakan kata “al
walidain”, tapi setelah itu ia menyebut ibu dengan kata “umm” karena
keutamaannya lebih di atas ayah. Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14)
Imam
Asy Syarbini, seperti juga dikatakan Syaikh Muhammad bin Amin, “Ibu disebutkan
secara khusus karena menanggung beban berat dan banyak dari rasa sakit dan
kesulitan dalam melahirkan, menyusui, dan mengasuh.” Ar Razi mengatakan,
“Karena itu hak ibu lebih agung.”
Begitulah
Al Qur’an bicara soal keutamaan ibu. Demikian pula, ketika Al Qur’an hendak
memberitakan kepada kita dalamnya cinta ibu kepada anak-anaknya, dan besarnya
kasih sayang dan kelembutannya kepada mereka, kembali Al Qur;an menyebutnya
dengan kata “umm”. Allah berfirman,
وَأَصْبَحَ
فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَارِغًا ۖ إِن كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ لَوْلَا أَن رَّبَطْنَا عَلَىٰ قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
‘Dan
menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia
tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk
orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).“ (QS. Al Qashahs : 10)
Dan
ketika Al Qur’an menceritakan betapa bahagianya ibunda Musa setelah bertemu
kembali anaknya, Al Qur’an juga menggunakan kata “umm”. Allah berfirman,
إِذْ تَمْشِي أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ مَن يَكْفُلُهُ ۖ فَرَجَعْنَاكَ إِلَىٰ أُمِّكَ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ ۚ وَقَتَلْتَ نَفْسًا فَنَجَّيْنَاكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا ۚ فَلَبِثْتَ سِنِينَ فِي أَهْلِ مَدْيَنَ ثُمَّ جِئْتَ عَلَىٰ قَدَرٍ يَا مُوسَىٰ
“(yaitu)
ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga
Fir’aun): “Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?”
Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka
cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari
kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan; maka kamu tinggal
beberapa tahun diantara penduduk Madyan, kemudian kamu datang menurut waktu
yang ditetapkan hai Musa,” (QS. Thaha : 40)
Ketika
menunjukkan kesucian dan kemuliaan para istri Rasulullah SAW, Al Qur’an pun
menyebut mereka dengan “al Ummahat”, bukan “al walidat”. Allah berfirman,
النَّبِيُّ
أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَن تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُم مَّعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا
“Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab
Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah
tertulis di dalam Kitab (Allah).” (QS. Al Ahzab : 6)
Al
Qur’an yang lafaz-lafaznya kaya makna, begitu dalam menjelaskan kepada kita
tentang ibu. Maka selamilah itu, agar kita bisa lebih memahami ibu, keajaiban
yang Allah karuniakan kepada kita. [Syahida.com]
Sumber : Majalah
Tarbawi, Sulthan Hadi


